Sabtu, 31 Mei 2014
Tambo dan Silsilah Adat Alam Minangkabau
Sebagian isi dari tulisan ini dikutip dari buku Tambo dan Silsilah Adat Alam Minangkabau yang ditulis oleh B. Datuak Nagari Basa (1962) beserta kutipan dari tulisan-tulisan dan cerita para orang tua
Tambo Minang yang asli, pada zaman
kolonial Belanda, dipinjam dan tidak dikembalikan kepada pemilik asli
(para Tuan Laras). Menurut tambo yang asli, tanah air kita ini dulunya semua kepulauan di Nusantara tidak terpisah-pisah seperti sekarang ini, melainkan menyatu dengan semananjung Malaysia hingga benua Asia.
Terpisahnya menjadi kepulauan Nusantara seperti sekarang ini
diakibatkan oleh banjir besar Nabi Nuh, AS. Tanah yang hancur itu
dihanyutkan oleh air yang surut dan terjadilah selat-selat dan laut-laut
yang tidak begitu dalam.

Menurut para orang tua yang disampaikan secara turun-temurun, menyebutkan bahwa nenek moyang orang Minangkabau ini berasal dari Persia (kawasan di Timur Tengah). Penduduk Minangkabau pada dahulunya disebut sebagai bangsa Melayu
Minangkabau, bahasa yang dipakai serupa dengan bahasa yang dipakai
Melayu Riau dan bangsa-bangsa Melayu lainnya, hanya dialeknya yang
berubah. Suku Melayu pada awalnya tidak mempunyai huruf sebagai
penyampai informasi sampai masuknya agama Islam. Segala sesuatu yang
berupa sejarah, undang-undang, silsilah adat dan yang lainnya
disampaikan dalam bentuk menceritakan kepada anak dan kemenakan.
Kewajiban bagi seorang ninik mamak (saudara laki-laki dari orang tua
perempuan ataupun dari nenek), adalah menceritakan kepada kepada anak
kemenakan. Bagi kemenakan, adalah suatu kewajiban pula untuk menerima
dan mendengarkan cerita dari ninik mamak tersebut. Sesuai dengan
pepatah: “manjawek warih, mandanga tutua” atau menerima warisan, mendengarkan tutur atau ucapan kata.
Penemuan lokasi tinggal yang baru
Banjir besar Nabi Nuh, AS yang baru surut
setelah ratusan hingga ribuan tahun mengakibatkan terpusatnya
kelompok-kelompok peradaban umat di beberapa tempat di belahan bumi ini.
Sementara masih banyak belahan bumi yang belum dihuni oleh umat
manusia. Umat manusia yang masih hidup ini adalah pengikut-pengikut
setia Nabi Nuh AS beserta ajarannya. Beberapa diantaranya mencoba
mencari lokasi tempat tinggal baru yang akan secara turun temurun akan
didiami oleh keturunannya hingga saat sekarang ini. Sementara,
kepercayaan yang dianut semakin jauh menyimpang dari ajaran asli para
Nabi, karena semakin banyaknya dan jauhnya penyebaran umat di beberapa
pelosok bumi.
Diantara para petualang pencari lokasi
baru tersebut adalah Maharadjo Diradjo yang konon adalah nenek moyang
orang Minangkabau. Sewaktu topan surut, Maharadjo Diradjo berlayar, dan
menemui gunung berapi telah
timbul dan berlabuhlah perahu besar beliau di gunung tersebut. Konon pula, perahu tersebut ditelungkupkan untuk menjadi atap rumah untuk bertempat tinggal. Itu pula sebabnya, hingga sekarang puncak atap rumah orang Minang menganut model “bagonjong” atau bergonjong, lalu disempurnakan keruncingan ujung atapnya meniru tanduk kerbau.
timbul dan berlabuhlah perahu besar beliau di gunung tersebut. Konon pula, perahu tersebut ditelungkupkan untuk menjadi atap rumah untuk bertempat tinggal. Itu pula sebabnya, hingga sekarang puncak atap rumah orang Minang menganut model “bagonjong” atau bergonjong, lalu disempurnakan keruncingan ujung atapnya meniru tanduk kerbau.
Maharadjo Diradjo yang telah menemukan
lokasi hunian yang cocok bersama pengikutnya mulai mengembangkan wilayah
dengan jalan merambah hutan-hutan kemudian menjadikan ladang-ladang dan
persawahan. Beberapa diantaranya dijadikan pemukiman yang
berjarak-jarak sesuai dengan kemampuan anggota keluarga, namun antara
satu pihak dengan pihak lainnya tetap memiliki dan menjalin hubungan
yang baik, yang dikenal dengan sebutan “taratak”. Orang-orang yang
mengerjakan dan mengusahakan tanah-tanah tersebut berbuat menurut
dorongan hati masing-masing, tidaklah dipaksa, untuk kepentingan
sendiri-sendiri dan tidak dimufakatkan terlebih dahulu. Kebiasaan ini
terlaksana terus (menjadi kebiasaan/adat) sampai terbentuk keramaian
yang terfokus (koto) dan negeri dalam masyarakat dalam bidang ekonomi.
Melihat perkembangan yang terjadi,
timbulah dalam pikiran Maharadjo Diradjo untuk membuat tempat kediaman
yang patut sebagai kediaman bagi manusia yang sempurna, berkumpul
beberapa “taratak” tadi menjadi rumah-rumah yang berdekatan dengan
tatanan aturan yang baik. Setelah disepakati bersama, dimulailah oleh
Maharadjo Diradjo mendahului melakukan perambahan pertama menggunakan
sebilah pedang panjang miliknya, tempat yang kemudian dikenal sebagai
asal dari penduduk asli Minangkabau, yaitu di Pariangan Padang Panjang. Tepatnya lokasi ini berada di kaki
Gunung Marapi, Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Tanpa diperintah,
berdirilah rumah-rumah yang berkelompok serta dilengkapi dengan
pagar-pagar yang baik sebagai batas
bagi setiap keluarga (kaum) hingga membentuk suatu perkampungan.
Beberapa kampung selanjutnya membentuk suatu dusun yang bertumpuk.
Dusun-dusun yang telah banyak tersebut menurut kelompoknya kemudian
membentuk sebuah koto. Koto mempunyai kesepakatan (sekata/”sakato”)
dalam menghadapi bahaya dan lain-lainnya menurut perkembangan masa, dan
perkembangan itu pula yang menjadi sebuah “negeri”.
Penyebaran penduduk asli Minangkabau dan terbentuknya Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Limapuluh
Setelah terjadi perkembangan jumlah
penduduk yang kian pesat, penduduk mulai melakukan
perpindahan-perpindahan. Pola perpindahan yang dilakukan adalah
perpindahan yang terus-menerus. Maksudnya, apabila suatu keluarga atau kaum
melakukan perpindahan ke lokasi tertentu, kemudian setelah mempunyai
keturunan yang baru, mereka melakukan perpindahan berikutnya ke tempat
lain yang lebih jauh lagi. Dimulai dari lokasi tempat tinggal asal yaitu
Pariangan Padang Panjang, sebagian dari satu kaum pindah ke Tanah
Datar, dan setelah berkembang di Tanah Datar, sebagiannya pindah ke
Agam. Setelah berkembang pula di Agam, sebagiannya pindah lagi ke
Limapuluh Kota. Karena Limapuluh Kota cukup jauh dari lokasi asal yaitu
Pariangan Padang Panjang, masyarakat Minang yang mendiami lokasi ini
kesulitan dalam berkomunikasi dengan tempat asalnya. Tetapi hubungan
kekerabatan tetap mereka jalin, walaupun tidak hapal lagi silsilah atau
garis keturunan antara orang tua-orang tua mereka yang masih bersaudara.
Dimasa pemerintahan Datuk/Sutan Maharadjo
Basa, penduduk dari Pariangan dan Padang Panjang menyebar ke
bidang-bidang datar di kaki Gunung Marapi sebelah Selatan sampai di
bidang datar di kaki Gunung Sago bagian Selatan dan Timur. Selanjutnya
pindah ke beberapa nagari seperti Sungai
Tarab, Sumanik, Saruaso, Padang Gantiang, terus sampai ke Buo dan
Sumpur Kudus. Pemindahan-pemindahan ini mengakibatkan berkurangnya
penduduk di Pariangan. Istilah pengurangan atau berkurang dan berpindah
ke luar ini kemudian dalam
istilah Minangkabau disebut dengan “Luak” atau “Luhak”. Dari segi awal
bahasanya lebih mirip “Lua” atau “Luar”. Penduduk dipindahkan dari
Pariangan, atau penduduk Pariangan yang dikurangkan dan ditempatkan
dibidang-bidang datar, maka lokasi tempat tinggal baru tersebut
dinamakan Luhak Tanah Datar.
Perkembangan populasi penduduk yang
semakin pesat di Luhak Tanah Datar, maka timbul kembali keinginan dari
penguasa waktu itu yaitu Sutan Maharadjo Basa untuk memindahkan kembali
penduduknya ke tempat lain. Tujuannya adalah agar orang-orang serta para
keturunannya dapat membangun nagari yang baru. Sebelum dilakukan
pemindahan, terlebih dahulu dilakukan penyelidikan langsung ke lokasi
yang akan ditempati nantinya.
Setelah memenuhi syarat untuk ditempati,
maka disetujuilah lokasi baru yaitu di sebelah Timur dan Barat Gunung
Marapi dan Barat Gunung Sago. Untuk itu ditunjuklah 4 (empat kaum) pergi
merambah serta membabati hutan untuk tempat kediaman, untuk peladangan
dan perkebunan. Empat rombongan pertama sampai di bagian bawah dataran
yang rendah di kaki Gunung Merapi serta di sebelah Utara gunung
tersebut. Rombongan tersebut juga mendapati sebuah lembah dan sungai
yang jernih airnya, serta hulu sungai yang bercabang dua menuju muara.
Lembah itu diberi nama Agam dan sungai yang mengalir melalui lembah arah
ke hulu diberi nama Batang Tambuo dan Sungai Janiah atau Sungai Jernih.
Sementara sungai yang mengalir menuju muara/hilir diberi nama Batang
Agam.
Kemudian menyusullah rombongan kedua ke
tempat rombongan pertama tadi sebanyak empat keluarga/kaum. Disusul
rombongan ketiga dan keempat menuju rombongan pertama berada. Jumlah
rombongan yang berpindah adalah empat kali pemberangkatan. Setiap
pemberangkatan berjumlah masing-masingnya empat keluarga/kaum. Total
keseluruhan rombongan adalah 16 (enam belas kaum).
Kaum yang pertama datang ke Lubuk Agam
terus berangkat mencari lokasi-lokasi baru untuk ditempati dan diolah.
Mereka menyebar di kaki Gunung Merapi dan membuat nagari dan koto.
Nagari-nagari yang didirikan oleh rombongan pertama tersebut adalah Agam
Biaro, Balaigurah, Lambah, Panampuang dan sekitarnya hingga sampai ke
Canduang dan Lasi. Nagari/negeri tersebut adalah negeri rombongan
pertama yang berangkat, kemudian sampai sekarang lebih dikenal dengan
Nagari Ampek Angkek atau Negeri Empat Angkat.
Kaum yang kedua mendiami daerah di
sekeliling bukit yang agak tinggi dan mendirikan nagari sebanyak empat
sama seperti rombongan pertama. Nagari-nagari yang mereka dirikan adalah
Kurai, Banuhampu, Sianok, dan Koto Gadang. Karena sifat pemindahan
penduduk adalah yang pertama yang merintis, kemudian setelah rombongan
berikutnya yang meneruskan dan mendiami, rombongan pertama mencari yang
lebih jauh. Maka nagari-nagari yang didirikan oleh rombongan kedua ini
dapat dikatakan adalah masuk dalam Nagari Ampek Angkek atau negeri empat
angkat juga.
Rombongan atau kaum ketiga menduduki
bagian yang tertinggi dari kaki Gunung Marapi, bahkan hingga pinggang
gunung sebelah barat. Mereka kemudian membuat empat nagari yaitu Sarik,
Sungaipuar, Batagak dan Batupelano. Sama seperti nagari yang didirikan
oleh rombongan kedua di atas, maka nagari-nagari ini adalah termasuk
dalam Ampek Angkek atau Empat Angkat juga. Pemberangkatan terakhir
mendiami kaki Gunung Singgalang. Rombongan ini mendirikan pula empat
negeri yang diberi nama Guguk, Tabeksarojo, Balingka dan Pambatan. Dari
semua nagari-nagari yang didirikan tersebut, yang masih bernama Nagari
Ampek Angkek adalah nagari-nagari yang didirikan oleh rombongan pertama,
yaitu Agam Biaro, Balaigurah, Lambah, Panampuang, Canduang dan Lasi.
Lokasi-lokasi baru yang ditempati dan didirikan menjadi nagari-nagari
oleh empat rombongan pemberangkatan ini kemudian diberi nama Luhak Agam.
Selanjutnya, lokasi-lokasi baru yang
menjadi perhatian para pemimpin Minangkabau waktu itu adalah
lereng-lereng di Gunung Sago sebelah Utara sampai ke Timur. Tanah
dataran yang luas, lembah yang sangat lebar di sepanjang sungai Lampasi,
Batang Sinamar dan Batang Agam, kosong belum ada penghuni. Kaum-kaum
yang akan menghuni lokasi baru tersebut diambil dari anggota kaum yang
telah mendiami nagari-nagari di Luhak Tanah Datar. Kaum-kaum tersebut
dibagi, ada yang berangkat, ada yang tinggal. Lalu berangkatlah 50 (lima
puluh) keluarga menuju kaki antara
kedua gunung yaitu Gunung Sago dan Gunung Marapi. Mereka menempuh
perjalanan siang malam menyeberangi Batang Agam. Dalam perjalanan, saat
istirahat di pinggiran Batang Agam, dilakukan penghitungan jumlah
rombongan, namun jumlah yang istirahat tidak lagi sama dengan jumlah
rombongan saat akan berangkat. Terjadi perdebatan, bahwa jumlah yang
kurang adalah sebanyak lima kaum, sebagian lagi ada yang mengatakan
hanya sebanyak dua kaum. Pihak yang mengatakan hilangnya sebanyak dua
kaum, menerangkan bahwa rombongan yang hilang tersebut dipimpin oleh
Datuk Mareko Panjang Jangguik, mereka meneruskan perjalanan ke Kampar
Kiri. Mereka mendirikan korong kampung serta koto dan nagari di
sepanjang sungai Kampar Kiri. Satu rombongan lagi yang hilang adalah
rombongan yang dipimpin oleh Datuk Mareko Putih Gigi. Rombongan ini
menyusuri sungai Kampar Kanan hingga ke hilir. Di sepanjang sungai
tersebut mereka kemudian beranak pinak. Lokasi baru yang ditempati
rombongan yang berangkat dari Luhak Tanah Datar ini kemudian diberi nama
Luhak Limapuluh Koto.
Aturan ahli waris dalam adat Minangkabau
Bagaimana seandainya suatu kekerabatan dalam kaum yang saling berjauhan, tidak lagi memiliki keturunan lagi?
Sesuai dengan ungkapan pepatah: “panjang nan bakaratan, laweh nan basibiran”.
Panjang nan bakaratan atau panjang yang berkarat artinya, semakin
panjang garis keturunan, semakin berkarat atau tidak berkilat/jelas lagi
antara satu sama lainnya. Laweh nan basibiran atau luas yang berada di
pinggir, artinya semakin luas atau jauh lokasi tempat tinggal, semakin
jauh dari pusat atau tempat asal yang asli.
Menurut adat Minangkabau, jika seandainya
putus ahli waris pada tempat yang lebih jauh, maka kerabat tempat asal
akan mewarisi harta dan pangkatnya, dengan syarat harus ditunggui atau
mendiami lokasi tinggal kerabat yang hamper/telah punah. Maksudnya,
apabila tidak ada yang menjadi ahli waris dalam suatu kaum di Minang,
maka kerabatnya yang lain, walaupun berada di tempat tinggal yang
berbeda, akan menjadi ahli waris karena masih satu keturunan sebelumnya.
Begitu juga sebaliknya. Sesuai dengan pepatahnya: “Warih bajawek pusako batolong, untuak batariak baban babao, bakeh diuni pusako ditunggui”.
Maksudnya, ahli waris bertanggung jawab menyelamatkan warisan atau
pusaka, yang bersangkutan atau ahli waris harus mendiami atau menempati
warisan atau pusaka yang telah menjadi beban tanggung jawabnya tersebut. Tujuannya
adalah supaya lokasi-lokasi yang telah ditemukan serta dijaga dan
dipergunakan sebelumnya tidak lepas kepada pihak lain yang bukan dari
orang Minang.
Metode/adat waris tersebut diatas dibuat
oleh ninik moyang orang Minang yaitu Datuak Tantedjo Garhano. Beliau
adalah orang Minang pertama yang mendirikan “Balai Panjang” ruangan
dengan tempat duduk yang panjang, beratap tetapi tidak memiliki dinding.
Tempat ini digunakan untuk berkumpul dan menerima perintah dari
penguasa.. Bahan-bahan asli pembuatan Balai Panjang ini terdiri dari
tumpukan batu sebagai alas tempat duduk, bambu sebagai kerangka atap,
ijuk sebagai atap dan sebagainya. Tinggi Balai tidak seberapa, karena
pengerjaan atap tidak menggunakan tangga seperti yang sering kita
gunakan untuk menggapai puncak yang melebihi tinggi badan manusia. Balai
Panjang tersebut kemudian diberi nama Balairung Sari, terletak di
Kampung Tabek, Limakaum.
Sistem Pemerintahan Pertama Minangkabau
Di Balairungsari ini, Maharadjo Diradjo
mengendalikan dan menjalankan pemerintahan atau kekuasaan yang
dipegangnya secara mutlak. Kekuasaan penuh dan berdasarkan pertimbangan
Maharadjo Diradjo, di dalam tambo Alam Minangkabau disebut dalam
pepatah: “undang-undang simumbang jatuah”, maksudnya,
undang-undang yang mutlak dipatuhi, karena tak boleh dibanding/diprotes
dan tak ada kata ampun, wajib harus dituruti.
Undang-undang tersebut berlaku kepada
keturunan Maharadjo Diradjo. Akibatnya, banyak rakyat yang harus
menerima hukuman karena perbuatan yang belum tentu salah sama sekali.
Hak asasi manusia tidak berlaku sepenuhnya di zaman ini (aturan
pertama).
Di bidang ekonomi
(aturan kedua atau undang-undang si gamak-gamak), segala lapangan
pekerjaan untuk penghidupan dikuasai oleh kecerdasan dan kepandaian
serta kemampuan masing-masing. Dimasa ini orang hidup sendiri-sendiri,
tak menghiraukan kehidupan orang lain.
Dalam kehidupan sosial (aturan kedua atau
si lamo-lamo), penghargaan pada perbuatan baik tidak akan mendapat
ungkapan terima kasih, sebab orang yang memiliki sikap yang baik dan
terpuji tidak akan berani menghadapi orang yang dianggap terpandang,
karena yang menyandang status terpandang akan dianggap sebagai orang
yang berani, sedangkan orang yang tidak terpandang di tengah masyarakat
akan merasa jadi penakut.
Setelah wafatnya Maharadjo Diradjo,
pemerintahan dilanjutkan oleh keturunannya yaitu Suri Diradjo. Beliau
melakukan perubahan aturan, sesuai dengan ungkapan pepatah; “sakali gadang balega, sakali adat barubah”.
Maksudnya, setelah cukup umur dan patut, maka diangkat atau diresmikan,
kemudian sekalian dengan adanya perubahan adat atau aturan.
Undang-undang Tarik Balas
Setelah kekuasaan dipegang oleh Datuak
Suridiradjo, undang-undang yang diterapkan adalah undang-undang Tarik
Balas yang bertujuan agar sesuatu kejahatan atau kesalahan seseorang
akan mendapat balasan setara atau setimpal dengan apa yang telah
diperbuatnya. Jika seseorang membunuh, maka hukuman yang pantas
diterimanya adalah dibunuh juga. Dalam urusan utang piutang, apa yang
dipinjam harus sesuai bentuk pengembalian sama seperti barang atau
materi yang dipinjam, tidak boleh diganti dengan bentuk lain. Sesuai
dengan pepatah: “utang ameh baia jo ameh, utang nyao baia jo nyao, utang padi baia jo padi, utang kato baia jo kato”
atau utang emas bayar dengan emas, utang nyawa bayar dengan nyawa,
utang padi bayar dengan padi, utang kata bayar dengan kata. Perubahan
undang-undang ini membawa perubahan dalam masyarakat. Sebelumnya,
undang-undang yang dipakai tidak kenal kata ampun dan kasihan.
Undang-undang Tarik Balas diterima dengan
baik oleh masyarakat pada waktu itu. Undang-undang terus dilanjutkan
oleh keturunan Datuk Suridiradjo yaitu oleh Datuk Seri Mahardjo nan
Banego-nego, kemudian oleh anaknya Datuk Maharadjo Basa. Undang-undang
tersebut berjalan lancar karena masyarakat boleh mempertahankan
kebenaran sebagai hak asasinya sebagai manusia. Adik Datuk/Sutan
Maharadjo Basa, yaitu Sutan Balun selalu ikut mendampingi sang kakak
sambil memperhatikan dengan cermat setiap jalannya perkara.
Sekali-sekali Sutan Balun menyumbangkan buah pikirannya, dan kemudian
diangkat sebagai penasehat Sutan Maharadjo Basa. Baik rakyat dan Sutan
Maharadjo Basa sangat mengagumi adiknya Sutan Balun yang memiliki
kecerdasan dan ide-ide yang cemerlang dalam menghadapi suatu masalah.
Walaupun Sutan Balun telah ikut berperan
serta dalam membantu Sutan Maharadjo Basa dan terbukti sangat dikagumi,
namun Sutan Balun masih melihat dan menilai bahwa undang-undang Tarik
Balas belum memberikan kepuasan bagi rakyat. Penerapan undang-undang
Tarik Balas yang menyelesaikan satu perkara, tetapi menimbulkan perkara
baru, karena dalam menjatuhkan hukuman, harus dibuat perlakuan yang sama
bagi terhukum. Misalnya, menghukum mati seorang pembunuh, maka yang
melaksakan eksekusi hukuman sama saja telah melakukan pembunuhan juga.
Akibat dari hukuman ini akan menimbulkan rasa luka bagi keluarga
pembunuh yang dihukum mati. Sungguh pun demikian, karena sifat bijaksana
Sutan Balun yang diwarisi dari ayahnya Catri Bilangpandai, tidak
membuat Sutan Balun gegabah untuk langsung menyampaikan keluhannya
kepada kakak lain ayahnya, Sutan Maharadjo Basa.
Budi Curiga (Paham Bodi Chaniago)
Sutan Balun semakin mencemaskan masa
depan masyarakat Minangkabau sebagai akibat dari pelaksanaan
undang-undang Tarik Balas. Kecemasan dan kecurigaan yang timbul pada
diri Sutan Balun karena kedekatan beliau dengan masyarakat lebih kental
dibandingkan kakaknya Sutan Maharadjo Basa. Kecurigaan atau rasa
prasangka akan apa yang timbul dimasa datang adalah karena kesucian
cahaya hati yang memancar dan menerangi pikirannya. Karena kuatnya
desakan untuk melakukan perubahan demi kebaikan masyarakatnya dimasa
akan datang, Sutan Balun kemudian membulatkan tekadnya untuk
memperjuangkan kebenaran itu kepada Sutan Maharadjo Basa.
Setelah berpikir sedalam-dalamnya dan
pada waktu yang tepat nantinya, Sutan Balun sangat berharap beliau
berdua dengan kakaknya Sutan Maharadjo Basa dapat membicarakan hal
tersebut dengan hati dan jiwa yang tenang.
Saat Sutan Balun sudah menemukan waktu
yang tepat untuk menyampaikan isi hatinya, Sutan Maharadjo Basa merasa
kagum dan di dalam hati mengakui kecerdasan dan kebenaran yang ada pada
diri Sutan Balun. Tetapi tidak serta merta Sutan Maharadjo Basa langsung
menerima pendapat yang disampaikan oleh Sutan Balun. Sutan Maharadjo
Basa yang sangat cermat dan teliti dan bertindak, kemudian menjawab
usulan Sutan Balun dengan berjanji akan mempertimbangkan dan memikirkan
lebih dahulu sedalam-dalamnya. Walaupun begitu, Sutan Balun sudah merasa
sangat senang dan bahagia hatinya karena usulannya akan menjadi
pemikiran oleh Sutan Maharadjo Basa.
Menjelang ditepatinya janji oleh Sutan
Maharadjo Basa, Sutan Basa tak henti-henti berupaya agar pendapatnya itu
tidak kandas begitu saja. Terlebih lagi pendapatnya itu telah
dipikirkan sedalam-dalamnya dan tujuannya adalah demi kebaikan
masyarakat banyak. Di mata masyarakat, baik Sutan Maharadjo Basa dan
Sutan Balun adalah sama-sama pemimpin mereka. Sutan Maharadjo Basa
adalah pemegang tampuk kekuasaan yang sangat ditakuti oleh rakyat,
tetapi segala keputusan yang berlaku adalah berdasarkan pertimbangan dan
pendapat dari Sutan Balun. Semua yang terlaksana adalah berkat
kecerdasan, buah pikiran dan kecintaan Sutan Balun pada masyarakatnya.
Setelah menunggu selama lebih dari dua
minggu, Sutan Balun menuntut jawaban yang dijanjikan oleh Sutan
Maharadjo Basa, namun Sutan Maharadjo Basa memberi jawaban bahwa
pendapat tersebut belum selesai dipikirkan sedalam-dalamnya. Termasuk
seperti apa kira-kira cara, bentuk dan undang-undang penggantinya. Perlu
dirumuskan terlebih dahulu semasak-masaknya undang-undang baru yang
akan dilaksanakan, barulah usulan tersebut dapat diterima dan
undang-undang lama bisa dibatalkan. Sutan Maharadjo Basa kembali
menangguhkan dan akan memikirkan semasak-masaknya.
Menerima jawaban dari Sutan Maharadjo
Basa, Sutan Balun membalas dengan tekad yang kuat bahwa dia akan tetap
memperjuangkan pendapatnya hingga cita-citanya menjadi kenyataan.
Menanggapi kenyataan yang terjadi, maka timbullah perasaan yang
bukan-bukan pada diri Sutan Maharadjo Basa. Menurut dugaannya, jika
pendapat Sutan Balun diterima oleh masyarakat, maka pandangan dan
penilaian rakyat akan lebih pada diri Sutan Balun, sementara dia sebagai
raja akan direndahkan oleh rakyat. Bisa-bisa kekuasaanya akan berpindah
ke tangan Sutan Balun, padahal Sutan Balun tidak berhak menjadi raja,
karena Sutan Balun adalah anak Catri Bilangpandai bukan anak dari Datuk
Seri Maharadjo Diradjo Nan Banego-nego ayah kandung Sutan Maharadjo Basa
yang menjadi raja sebelumnya. Di zaman itu, Minangkabau masih menganut
garis keturunan Patriakhat yaitu kekuasaan atau warisan yang turun dari
ayah kepada anaknya.
Janji dari Sutan Maharadjo Basa kembali
didiamkan sampai beberapa waktu yang cukup lama, dan tak pernah
disinggung kembali. Kondisi yang demikian menimbulkan keinginan yang
kuat pada diri Sutan Balun untuk menuntut kembali jawaban yang
dijanjikan. Pada waktu penyampaian kembali, Sutan Balun tak lagi bisa
menyembunyikan perasaannya. Sutan Balun secara tegas meminta kejelasan
dari Sutan Maharadjo Basa, apa alasan raja menolak usulannya. Karena
desakan yang keras dari Sutan Balun, maka Sutan Maharadjo Basa
menegaskan bahwa undang-undang Tarik Balas tidak bisa diubah oleh siapa
pun juga, karena sudah turun-temurun dari nenek moyang. Sutan Balun
menyampaikan bahwa dia mengusulkan perubahan bukan untuk mencari-cari
simpati dari masyarakat, tetapi adalah untuk membela keselamatan rakyat,
dan tidak ada pula bermaksud menjatuhkan kekuasaan kakaknya. Sutan
Balun mengatakan bahwa kakaknya telah salah dalam berpikir, namun Sutan
Maharadjo Basa menjawab bahwa Sutan Balun tidak berhak ikut campur dalam
urusan kerajaan, karena ayah Sutan Balun bukanlah seorang raja
sebelumnya.
Sutan Balun tidak menjawab sepatah kata
pun, karena hati dan perasaannya merasa sangat sakit karena ucapan
terakhir dari sang raja. Sutan Balun yang mempunyai sifat yang budiman
dan penyabar, sangat pandai menahan hati, sehingga tak tampak sama
sekali kekecewaan dan sakit hati yang dirasakannya. Sehabis ucapan
terakhir dari sang raja, keduanya hanya bisa diam dan bermenung. Setelah
sekian lama diam dan bermenung, Sutan Balun berdiri dan terus berjalan
tanpa pamit sepatah kata pun. Sutan Balun menuju keramaian untuk
menenangkan pikiran tanpa menceritakan kembali kepada siapa pun tentang
apa yang telah dialaminya.
Sungguh pun banyak hiburan yang
ditemuinya di dalam keramaian, tidak bisa untuk mehilangkan kegelisahan
dan rasa hatinya yang telah hancur. Adapun yang dilakukan oleh Sutan
Maharadjo Basa juga diam tidak pernah menegur sapa Sutan Balun, tentunya
keadaan ini makin memperparah keadaan yang dialami oleh Sutan Balun.
Ayah Sutan Balun yang sangat hapal dengan sikap dan tingkah laku Sutan
Balun, tentunya merasa heran melihat perubahan yang dialami putranya.
Sutan Balun yang sudah bertekad untuk memperjuangkan sendiri
cita-citanya, tidak mau mengungkapkan isi hatinya pada Catri
Bilangpandai, walaupun sudah dibujuk dengan segala cara. Namun, Catri
Bilangpandai karena adalah orang yang sangat bijaksana, akhirnya Sutan
Balun menceritakan semua yang telah terjadi antara dirinya dengan Sutan
Maharadjo Basa.
Setelah mendengar semua uraian dari Sutan
Balun, Catri Bilangpandai juga turut merasa gelisah dan kesal hatinya
melihat kondisi hubungan anak kandungnya Sutan Balun dengan Sutan
Maharadjo Basa anak tirinya. Karena hubungan darah yang tidak sama
itulah, membuat sulit bagi Catri Bilangpandai untuk membantu
menyelesaikannya. Kedua pihak yang sama-sama mempertahankan pendiriannya
masing-masing, yang berujung merusakkan hati dan keretakkan antara dua
bersaudara berlainan ayah. Catri Bilangpandai hanya bisa menyabarkan
hati Sutan Balun. Namun Sutan Balun mengemukakan kesedihan hatinya
lantaran pembicaraan Sutan Mahardjo Basa. Baginya lebih sakit disinggung
oleh kata daripada kena senjata tajam. Segala macam pandangan
disampaikan Catri Bilangpandai untuk menenangkan hati Sutan Balun, namun
tidak berhasil sama sekali. Pada akhirnya, Sutan Balun meminta izin
kepada ayahnya agar dirinya bisa dilepas untuk melakukan perjalanan
untuk menenangkan hati dan jiwanya yang gelisah dan menderita siksaan
batin yang sangat berat.
Catri Bilangpandai tidak mengizinkan
anaknya untuk pergi dengan alasan bahwa ilmu pengetahuan yang akan
diberikannya masih banyak lagi, sedangkan yang telah ada pada diri Sutan
Balun belumlah mencukupi. Selain itu, Catri Bilangpandai tidak akan
merasa tenang hatinya sebelum pertikaian antara kedua anaknya selesai.
Jika sengketa ini didiamkan tanpa diselesaikan, akibatnya akan sampai
kepada rakyat. Sebab rakyat yang bersimpati kepada Sutan Balun akan
gelisah, jika Sutan Balun menyisihkan diri dari Sutan Maharadjo Basa.
Akibatnya akan membawa perpecahan anak nagari menjadi dua golongan,
yaitu golongan Sutan Maharadjo Basa dan golongan Sutan Balun. Catri
Bilangpandai berusaha menahan Sutan Balun untuk tidak berangkat
meninggalkan kampung. Tetapi keputusan Sutan Balun sudah tak bisa
diubahnya lagi. Catri Bilangpandai dengan terpaksa melepas kepergian
Sutan Balun.
Pada saat waktu yang tepat, Sutan Balun
berangkat diam-diam setelah jauh-jauh hari meminta izin dan berjabat
tangan dengan kedua orang tua dan adiknya. Sutan Balun sama sekali tidak
menemui Sutan Maharadjo Basa untuk minta izin atau sekurang-kurangnya
memberi tahu niatnya. Sutan Maharadjo Basa insyaf dan sadar bahwa
kepergian Sutan Balun bukan hanya karena pendirian dan tujuannya tidak
tercapai, tetapi pergi karena hati yang rusak disebabkan kata-kata yang
diucapkan kepada adiknya. Sebagai kakak yang sangat menyayangi dan
mengagumi adiknya, Sutan Maharadjo Basa merasakan hati yang hancur
ditinggalkan adik dalam keadaan tidak berbaik hati. Sutan Maharadjo Basa
merasa sangat canggung ditinggalkan Sutan Balun, seperti pepatah: “bak padang ditinggakan angin, bak lauik ditinggakan ombak”. Penyelesalannya semakin hari semakin bertambah apalagi timbul kesulitan-kesulitan dalam urusan nagari dan pemerintahannya.
Tekad untuk yang bulat untuk mengubah
undang-undang Tarik Balas yang telah banyak merugikan rakyat menambah
pekat darah dalam diri Sutan Balun selama menempuh perjalanan. Dia
berjanji tidak akan pulang kampung sebelum sanggup melenyapkan
undang-undang yang menjadi sebab perselisihannya dengan Sutan Maharadjo
Basa dan membawa dirinya jauh ke rantau. Menurut cerita Tambo
Minangkabau, Sutan Balun berangkat dari Pariangan Padang Panjang, lalu
ke nagari Lima Kaum dan terus ke Batutaba. Diteruskan berjalan ke
Sijunjung, menyusuri ke hilir Batang Kuantan, terus ke Selat Malaka.
Dilayarinya Selat Malaka dengan menyinggahi pulau-pulau di Riau sambil
menambah pengetahuannya. Selanjutnya terus menuju tanah Semenanjung
Malak dan masuk ke Selat Johor. Adapun rute yang ditempuhnya, yaitu
tanah Malaya, Pahang, Petani, Negeri Sembilan, Kualalumpur, Kedah,
sampai keluar tanah Malaya. Diteruskannya perjalanan ke Siam menuju
Bangkok.
Tujuan perjalanannya ke daerah-daerah
tersebut adalah semata-mata untuk melihat, memandang, dan mempelajari
adat-istiadat serta ilmu pemerintahan negeri yang disinggahinya.
Puas berkeliling di Siam dan Bangkok
serta telah cukup mengerti dengan tata cara hukum, Sutan Balun
meneruskan perjalanannya menuju negeri China. Dia bermaksud untuk sampai
ke Makau dan sekitarnya, karena dimasa itu negeri tersebut telah
mempunyai kemajuan dan terkenal kemana-mana.
Pada suatu saat Sutan Balun termenung dan
teringat pada nasib diri yang terombang-ambing oleh peruntungan yang
membawanya ke perantauan yang jauh. Dalam termenungnya, dia teringat
kejadian yang menjadi penyebab terpisahnya diri dari orang tua dan
saudara sampai waktu yang cukup lama. Timbullah rasa cinta dan kerinduan
pada kampong halaman, tanah tumpah darahnya.
Setelah dirasa cukup pengetahuannya untuk
melaksanakan cita-citanya untuk memperbaiki nasib rakyatnya, timbullah
keinginan untuk pulang ke kampong halaman. Setelah menimbang
semasak-masaknya dan mengukur ilmu pengetahuannya, apakah sudah cukup
untuk mencapai tujuan agar tidak ada halangan lagi sama sekali.
Menjalani hidup di perantauan selama lebih kurang tiga tahun, sudah
cukup rasa dan keyakinannya, disiapkanlah barang-barang yang tidak ada
di negerinya untuk dibawa pulang. Selain itu dibawanya seekor anjing
kesayangannya yang didapat di negeri Siam. Seekor anjing kumbang (hitam)
yang besar, bulunya panjang, serta daun telinga yang terkulai. Anjing
tersebut menjadi teman setia dan menjadi pengawal pribadinya selama
menjalani masa perantauan. Kesetiaannya yang melebihi keberaniannya
menjadi alasan kuat kenapa anjing itu harus dibawa bersama pulang ke
Pariangan Padang Panjang.
Pada waktu dan situasi yang baik,
berangkatlah Sutan Balun dari tanah China kembali ke tanah airnya, Pulau
Andalas. Dalam perjalanan, selalu terbayang olehnya keinginan dan
cita-citanya sambil memikirkan bagaimana cara baik untuk
melaksanakannya. Akibatnya dia lupa arah perjalanan, laut mana yang
sedang diarunginya. Setelah melalui Pulau-pulau Tujuh dan barulah sadar
saat telah memasuki perairan Riau. Sampai di salah satu lembah di Batang
Hari, ditelusuri sungai tersebut ke arah hulu hingga berlabuh di suatu
negeri kecil. Beberapa lama menyusuri pedalaman, maka sampailah Sutan
Balun di Pariangan Padang Panjang. Sutan Balun langsung menemui kedua
orang tuanya dan menyalami tangan keduanya. Rasa bahagia memenuhi isi
rumah menyambut kedatangannya.
Sutan Balun menceritakan
kejadian-kejadian yang dialaminya, dimana belum pernah ditemui
sebelumnya. Mulai dari suka dukanya di tengah-tengah lautan lepas yang
diarungi tanpa pernah dipelajari sebelumnya, tetapi alam sekitarnya
telah menjadi guru hingga dia tidak mengalami kesulitan-kesulitan yang
berarti. Dari kejadian-kejadian alam yang ditemui, Sutan Balun
mendapatkan banyak hikmah dan pengalaman hidup, dan yang paling penting
adalah ilmu pengetahuan yang kelak sangat berguna bagi kelangsungan
hidup dirinya serta masyarakat banyak. Seperti kejadian matahari yang
menyinari bumi, dengan panas teriknya, di tengah laut Sutan Balun
melihat kejadian dari langit tidak berawan menjadi berawan dan awan
tersebut buyar menurunkan hujan. Hujan turun membasahi bumi mengalir di
sungai-sungai membawa hanyut debu, pasir, tanah dan kembali lagi
berkumpul di lautan tempat asalnya. Catri Bilangpandai sangat terharu
mendengar cerita putranya. Apalagi mendengar ucapan kata-kata falsafah
yang halus tetapi sangat dalam pengertiannya yang dikemudian hari akan
dilaksanakan oleh Sutan Balun menjadi falsafah Adat Nan Subana Adat.
Orang-orang kampung pun mulai ramai
mengunjungi Sutan Balun di rumah ibunya Putri Indahjalih. Tak
henti-hentinya tamu yang diterima oleh Sutan Balun, baik dari pihak
keluarga, dari korong kampung, serta dari koto dan nagari. Sutan
Maharadjo Basa pun tahu orang-orang selalu ramai mengunjungi rumah
ibunya, ada keinginan untuk bertamu, namun belum ada kesempatan sama
sekali. Sutan Maharadjo Basa berkeinginan bercakap-cakap secara empat
mata dengan adiknya Sutan Balun, namun karena masih banyaknya tamu,
terpaksa keinginan tersebut diundurnya. Sutan Maharadjo Basa kemudian
menugaskan hulubalangnya untuk menemui Sutan Balun dalam rangka
menyampaikan keinginan sang raja. Kedatangan hulubalang diterima oleh
Sutan Balun, kemudian terbayang olehnya bahwa keretakan yang disebabkan
oleh kata-kata sang raja yang menusuk hatinya dahulu telah diinsyafi
oleh sang raja. Saat itu timbullah kembali harapan Sutan Balun bahwa
cita-citanya akan tercapai dengan jalan baik-baik. Untuk
menyisiasatinya, Sutan Balun menanyakan beberapa hal kepada hulubalang
tentang keadaan Sutan Maharadjo Basa. Secara tidak sadar, hulubalang
telah menguraikan beberapa hal yang disinggung oleh Sutan Balun. Sutan
Balun menanyakan keadaan secara perlahan dan sedikit demi sedikit serta
pertanyaan yang sifatnya memancing hulubalang untuk menjawabnya. Setelah
sekian lama berbicara dan tanya jawab berbagai hal, hulubalang pun
pamit. Sutan Balun merasa harap-harap cemas menunggu kedatangan
saudaranya Sutan Maharadjo Basa.
Akhirnya, pada keesokan paginya Sutan
Maharadjo Basa datang diiringi oleh hulubalangnya. Dengan penuh sukacita
Sutan Balun menyambut kedatangannya. Keduanya lalu duduk melakukan
ramah tamah dengan penuh rasa persaudaraan. Dalam pertemuan pertama itu,
hanya membahas tentang masalah keluarga, tidak ada dibicarakan mengenai
kejadian yang pernah membuat pertengkaran diantara mereka. Setelah
sekian lama berbincang-bincang, mereka pun makan siang bersama. Selesai
makan, Sutan Maharadjo Basa minta izin pamit pulang. Diikuti oleh
hulubalang, Sutan Maharadjo Basa turun ke halaman rumah. Sutan Basa
mengikuti hingga pintu depan rumah. Saat hulubalang yang berjalan paling
terakhir melewati anjing kumbang kesayangan Sutan Balun. Saat itu
anjing kumbang sedang asyik berguling-guling di dekat gerbang
perkarangan rumah. Sewaktu hulubalang sudah dekat dengan anjing
tersebut, dihampirilah anjing itu karena ketertarikannya melihat sang
anjing, saat hulubalang hendak memegang tali pengikatnya, si anjing
menoleh pada tuannya, Sutan Balun. Sutan Balun memberi sedikit kode, dan
karena sudah tiga tahun lebih menemani tuannya dengan setia, si anjing
langsung mengerti, si anjing spontan marah terus melompat ke arah
hulubalang dan menggigitnya. Sutan Maharadjo Basa terkejut melihat
kejadian tersebut. Sebagai tuan rumah dan majikan sang anjing Sutan
Balun langsung mengejar dan berusaha melepaskan hulubalang dari terkaman
anjing yang sedang marah. Kaki hulubalang mengeluarkan darah karena
terluka agak dalam dan merasa sangat kesakitan karena gigitan sang
anjing. Darah yang mengalir membasahi celananya, dan menjadi terlihat
jelas oleh khalayak ramai yang menyaksikan peristiwa tersebut. Sutan
Balun langsung memberikan pertolongan pertama pada hulubalang.
Berita mengenai tergigitnya hulubalang
tersiar dengan cepat melalui cerita dari mulut ke mulut. Setelah
kejadian itu, orang-orang yang bertamu ke rumah Sutan Balun merasa harus
berhati-hati agar tidak digigit oleh sang anjing. Kejadian itu menjadi
buah bibir dan pemikiran bagi para cerdik pandai, para
hulubalang-hulubalang lainnya, dan ampang lima, karena membahayakan bagi
si hulubalang yang terkena gigitan sebagai yang teraniaya. Oleh karena
itu, sangat pantas untuk dituntut orang yang memiliki anjing tersebut.
Kelanjutan dari permasalahan ini sangat menjadi perhatian orang banyak,
karena yang kena gigit adalah hulubalang, sementara yang punya anjing
dan patut didakwa adalah orang yang malah sepatutnya memberikan keadilan
bagi rakyatnya.
Sutan Maharadjo Basa merasa sangat
kesulitan dalam memikirkan keadaan tersebut, akan terasa berat bila
diadili, karena demi menjaga hati dan perasaan saudaranya yang baru saja
kembali dari perjalanan yang sangat jauh karena kesedihan hati
sebelumnya. Jika Sutan Balun dituntut, ada kekwatiran pada diri Sutan
Maharadjo Basa, Sutan Balun yang telah rusak hatinya dan mungkin bisa
disembuhkan, nanti malah akan bertambah rusak. Jika tidak diperkarakan
dan diadili, tentunya tidak akan menyenangkan hati anak negeri dan
mungkin akan menghilangkan wibawanya sebagai orang yang berkuasa. Itulah
sebabnya Sutan Mahardjo Basa sangat lalai untuk mengusut dan
menyelesaikan masalah tersebut. Sementara Sutan Balun juga ikut merasa
tidak enak dan gelisah karena belum diusutnya perkara tersebut,
bisa-bisa juga rencananya untuk memberikan yang terbaik bagi rakyatnya
akan kandas sebelum sempat menyampaikannya.
Sutan Balun kemudian mengemukakan kepada
Sutan Maharadjo Basa, bahwa perkara tersebut wajib diselesaikan agar
pemerintahan Sutan Maharadjo Basa tidak dipandang jelek oleh rakyatnya.
Atas pendapat itulah, Sutan Maharadjo Basa lalu melanjutkan perkara
tersebut menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam negeri. Tepat
pada hari kelima setelah hulubalang digigit anjing, maka bersidanglah
para “manti” serta para pembantu raja dalam persidangan adat yang
dilaksanakan diatas “Balairungsari” yang memiliki panjang tujuh belas
ruang. Rakyat pun turut menyaksikan proses persidangan, karena yang
terlibat dalam perkara adalah Sutan Balun.
Balairongsari dipenuhi oleh peserta rapat
yang akan menggelar sidang. Selain itu juga disaksikan oleh para
penduduk yang datang dari penjuru Nagari. Persidangan dimulai dengan
pemeriksaan terdakwa, yaitu Sutan Balun. Dalam pemeriksaan, Sutan Balun
mengakui perbuatan anjingnya yang telah menggigit kaki hulubalang hingga
terluka mengeluarkan banyak darah. Sutan Balun juga berpendapat, bahwa
siapa yang melakukan harus bertanggung jawab atas perbuatannya dan patut
didakwa. Pada kenyataannya, dalam perkara tersebut tidak ada kesalahan
pada pribadi Sutan Balun, karena khalayak ramai menyaksikan bahwa yang
melakukan kesalahan adalah seekor anjing. Tetapi yang merumitkan dalam
persidangan, kenapa Sutan Balun yang didakwa melakukan kesalahan?.
Sutan Balun merasa keberatan dan menolak
kalau dia yang harus bertanggungjawab, karena si anjinglah yang patut
didakwa melakukan kesalahan. Sutan Balun berpendapat bahwa dalam
menegakkan keadilan harus merujuk pada hukum yang berlaku, dan menurut
Hukum Tarik Balas, pelaksanaan hukum atau penjatuhan vonis pada terdakwa
harus sama atas perbuatan yang telah dilakukannya pada si korban.
Menurut Sutan Balun, ada baiknya pelaksanaan hukuman adalah berdasarkan
ilmu dalam menjatuhkan vonis, itulah yang disebut dengan “hukum ilmu”.
Peserta dan pendengar sidang di Balairongsari sangat setuju mendengar
pendapat dari Sutan Balun. Hakim dan juri dalam persidangan tersebut
lalu memutuskan bahwa Hukum Tarik Balas harus tetap dilaksakan.
Keputusan sidang, karena hulubalang
digigit oleh anjing, maka balasannya adalah harus menggigit kembali
anjing milik Sutan Balun. Namun, keputusan sidang ini malah membuat
pikiran baru, karena tidak mungkin orang atau manusia yang mengigit
anjing. Disinilah kesempatan bagi Sutan Balun untuk mengemukakan kembali
usulannya yang pernah mentah dan tidak diterima oleh Sutan Maharadjo
Basa, bahwa “Hukum Tarik Balas” harus diganti, karena pelaksanaan
undang-undang dari “Tarik Balas” hanya akan melahirkan konflik baru
setelah penjatuhan vonis hukum. Karena menurut hukum “Tarik Balas”, bila
seseorang yang telah melakukan kesalahan dan dihukum, maka yang
melaksanakan hukuman adalah juga termasuk telah melakukan kesalahan dan
harus dihukum juga. Tentunya akan ada rentetan permasalahan baru yang
terjadi sebagai akibat dari permasalahan sebelumnya. Sutan Balun
mengusulkan pergantian undang-undang Tarik Balas dengan undang-undang
yang lebih menguntungkan rakyat banyak.
Sutan Maharadjo Basa yang mendengarkan
pendapat dari adiknya Sutan Balun, teringat kembali kejadian yang
membuat larinya Sutan Balun dari kampung, meskipun di dalam hati sangat
kagum dan menerima kebenaran tersebut. Dulunya Sutan Maharadjo Basa
menolak pendapat Sutan Balun karena ada pra sangka yang tidak baik,
takut jika kekuasaannya akan diambil alih oleh Sutan Balun. Namun, di
tengah keramaian sidang di Balairongsari, Sutan Mahardjo Basa insyaf dan
menyetujui usulan adiknya untuk dilaksanakan.
Tuah Sakato (Demokrasi)
Setelah ada kata sepakat dari Sutan
Maharadjo Basa, maka undang-undang Tarik Balas dihapus dan akan dibuat
undang-undang baru yang lebih menguntungkan rakyat banyak. Rapat pun
ditutup untuk sementara waktu menjelang lahirnya undang-undang baru yang
dijanjikan oleh para pemuka masyarakat Minangkabau tersebut.
Tiga hari setelah sidang di Balairongsari
dilaksanakan, Sutan Maharadjo Basa menemui Sutan Balun untuk menyambung
pembicaraan, merancang dan merumuskan undang-undang pengganti
undang-undang Tarik Balas yang telah dicabut. Sutan Balun menyanggupi
maksud dan tujuan kedatangan Sutan Mahardjo Basa, tetapi menginginkan
pembicaraan harus dilakukan di tempat khusus, agar segala hal yang
dirumuskan tidak diketahui umum sebelum menjadi sebuah keputusan. Sutan
Balun mengusulkan agar ruang sidang Balairongsari atau “Balai Panjang”
yang berada di nagari Tabek dan berjumlah tujuh belas ruang, pada bagian
tengahnya ada sebuah ruangan untuk dipindahkan ke Pariangan.
Sisa ruangan Balairongsari setelah
dikurangi adalah sebanyak enam belas ruang, yang terpisah masing-masing
delapan ruang kiri dan kanan. Delapan ruang sebelah kanan digunakan
untuk tempat rapat umum, tempat berunding untuk menghasilkan pendapat,
dimana pendapat yang dihasilkan harus menghindari sistem suara
terbanyak. Keputusan yang diambil harus member manfaat bagi rakyat
banyak, baik di bidang pemerintahan atau pun bidang-bidang lainnya.
Sementara delapan ruang sebelah kiri digunakan untuk menyampaikan
keputusan-keputusan yang telah dibuat, serta tempat untk mengatur
pelaksanaan undang-undang. Sebuah ruangan yang dipindahkan dari
Balairongsari ke Pariangan diberi nama “Balai nan Saruwang. Pada
kenyataannya, pemotongan ruangan tidak dilakukan karena hanya merupakan
hakikat dari pelaksanaan sistem demokrasi yang diusulkan oleh Sutan
Balun. Perbedaannya adalah pelaksanaan usulan Sutan Balun terhadap
Balairongsari hanyalah pembongkaran lantai pada sebuah ruangan yang
berada tepat di tengah-tengah Balairongsari. Itulah pendapat dari Budi
Curiga yang ada pada diri Sutan Balun, serta dengan penuh keyakinan
dilaksanakan oleh Sutan Maharadjo Basa.
Setelah pelaksanaan keputusan perombakan
sistem musyawarah di Balairongsari, maka Sutan Maharadjo Basa dan Sutan
Balun melaksanakan perancangan undang-undang pengganti undang-undang
Tarik Balas di “Balai Saruwang”. Sutan Balun mengemukakan bahwa
undang-undang yang bakal dirumuskan harus sesuai dengan kehendak umum
dan tidak menyalahi kebenaran, karena yang akan memakai undang-undang
adalah rakyat banyak. Setiap rapat yang dilaksanakan harus sesuai dengan
pendapat dan keputusan untuk menerimanya harus dengan suara bulat.
Suara bulat adalah tidak ada seorang anggota masyarakat pun dengan tanpa
unsur paksaan yang menbantah, sehingga dalam tatanan hidup Minangkabau
tidak ada yang beroposisi. Walaupun dalam melaksanakan rapat banyak
usulan yang disampaikan oleh Sutan Balun, namun Sutan Balun tetap
menginginkan agar pemeritahan terus dijalankan oleh Sutan Maharadjo Basa
sebagai pucuk pimpinan tertinggi dalam nagari. Sutan Mahardjo Basa
kemudian menyerahkan semua pelaksanaan perancangan pembentukan
undang-undang kepada Sutan Balun. Catri Bilangpandai sebagai yang tertua
dan menjadi penengah musyawarah antara Sutan Maharadjo Basa dan Sutan
Balun menguatkan semua usulan Sutan Balun serta memberikan catatan
penting bahwa segala hasil rancangan undang-undang nantinya tidak ada
rasa keberatan dari Sutan Maharadjo Basa, atau kemudian dikenal dengan
istilah “Tuah Sakato” yang berlandaskan demokrasi.
Kelarasan dan Tikaman Batu Sebagai Lambang Perdamaian
Setelah Sutan Balun dapat menyelesaikan
rancangan undang-undang pengganti undang-undang Tarik Balas, maka
dilaksanakanlah kembali rapat di Balai nan Saruwang. Sidang yang
dihadiri beberapa pemuka masyarakat, dipimpin langsung oleh Sutan
Maharadjo Basa. Sebagai pimpinan sidang, beliau meminta peserta sidang
untuk mengemukakan pendapat agar dapat menjadi rumusan bersama nantinya.
Setelah usulan-usulan diterima, Sutan Maharadjo Basa menyerahkan
pimpinan rapat kepada Sutan Balun untuk merancang undang-undang. Disaat
serah terima itulah terjadi pelantikan secara resmi. Sebelum memimpin
sidang, Sutan Balun melakukan sumpah jabatan. Sutan Balun meminta untuk
disediakan sebuah batu yang berukuran besar dengan ketebalan sekitar
kurang dari panjang keris, karena bila ditusuk nantinya bisa tembus dari
satu sisi ke sisi lainnya. Batu itu akan ditempatkan nantinya di
Balairongsari saat undang-undang yang baru telah dinyatakan sah.
Pada saat rapat di Balairongsari
dilaksanakan, rapat dihadiri oleh hampir dari seluruh wakil rakyat
Minangkabau baik yang berasal dari nagari Pariangan, maupun yang datang
dari Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, maupun dari Luhak Limapuluhkota.
Rapat dibuka oleh Sutan Mahardjo Basa, diiringi dengan mengulas kembali
aturan pemerintahan yang selama ini telah jalan, yaitu undang-undang
Tarik Balas. Namun, dalam perkembanganya, undang-undang Tarik Balas
tidak sesuai lagi pelaksanaannya dengan perkembangan waktu dan zaman.
Peserta rapat yang hadir sepakat atas uraian Sutan Maharadjo Basa serta
keinginan penguasa untuk mengubah undang-undang Tarik Balas. Setelah
disepakati, maka diumumkanlah peresmian dan pelantikan Sutan Balun
sebagai pucuk pimpinan rapat untuk mengganti undang-undang.
Sutan Balun menyampaikan rasa terima
kasihnya karena rakyat sangat menyetujui pengangkatannya sebagai
pimpinan rapat. Sutan Balun menyatakan ikrar atau sumpah jabatan dengan
perkataan dan perbuatannya. Sutan Balun pun dilantik oleh Catri
Bilangpandai. Atas usulan Sutan Balun, Sutan Maharadjo Basa pun dilantik
dan diambil sumpahnya oleh Catri Bilangpandai. Maka terbentuk duet
pemerintahan, yaitu Sutan Maharadjo Basa sebagai pucuk pimpinan
nagari-nagari termasuk luhak-luhak beserta nagari perantauan, dan Sutan
Balun sebagai pucuk pimpinan sidang yang akan memikirkan segala sesuatu
tentang pembentukan undang-undang dalam pemerintahan serta undang-undang
yang akan membawa kesejahteraan bagi rakyat Minangkabau.
Dalam proses pengambilan sumpah, Sutan
Maharadjo Basa memegang gagang keris, sedikit menarik keluar, lalu
dengan cepat dimasukan kembali ke sarangnya sebagai tanda kebesaran
kerajaan. Namun berbeda dengan yang dilakukan oleh Sutan Balun, Sutan
Balun memegang dengan kuat keris di tangan kanannya, sambil mengucapkan
sumpah: “Selama batu ini masih berlubang bekas tikaman keris pustaka
ini, yang jernih berpantang keruh, adat lembaga akan dikembang, gantang
didirikan akan dilandung isinya, tuah disakato, berpantang luput dari
hujan, berpantang lengkang oleh panas”. Selesai mengucapkan sumpah,
Sutan Balun menikamkan keris ke batu yang telah disediakan hingga
terbenam mata keris dan tembus ke bagian sisi lain dari batu tersebut.
Setelah terbentuk dua jabatan penting
dalam unsur pemerintahan Minangkabau, Sutan Balun mengusulkan untuk
memberikan nama pada masing-masing jabatan yang diemban oleh Sutan
Maharadjo Basa dan Sutan Balun.
Sumber:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
clock
The Widgipedia gallery
requires Adobe Flash
Player 7 or higher.
To view it, click here
to get the latest
Adobe Flash Player.

calender
Blog Archive
-
2014
(10)
-
Mei(10)
- 7 Gunung Tertinggi Di Indonesia
- Atap Dunia Di Tujuh Benua
- 10 Pantai Terindah di Indonesia
- 7 Taman Laut Terindah di Indonesia
- Mengamati Metamorfosis Pada Capung Dan Keunikan nya
- Daftar lengkap nama Objek wista di Sumatera Barat
- 10 Samudra dan Laut Terdalam di Planet
- Tambo dan Silsilah Adat Alam Minangkabau
- 50 Universitas Terbaik di Indonesia 2014
- 10 Fakultas Kedokteran Terbaik Di Indonesia
-
Mei(10)
0 komentar:
Posting Komentar